Connect with us

opini

Sengketa Dagang Amerika Vs Cina, Berdampak  Besar pada Asean

Published

on

Jakarta, infomoneter.co- Ketidakpastian yang terjadi dalam lingkungan perdagangan global serta arah kebijakan perdagangan Amerika Serikat yang cenderung berubah-ubah dapat mengakibatkan jatuhnya perekonomian negara-negara berkembang di seluruh dunia.

Advertisement

Negara-negara (ASEAN) yang bermitra dagang dengan Cina semakin khawatir semenjak President Donald Trump mengancam akan meningkatkan tarif pajak untuk produk-produk Cina yang masuk ke AS.

Sengketa perdagangan antara dua negara raksasa ekonomi dunia tersebut (AS dan Cina) dapat menyebabkan anjloknya jumlah permintaan atas produk-produk buatan ASEAN di Cina serta memunculkan rasa kekhawatiran bahwa negara-negara ASEAN akan kebanjiran besi, alumunium, dan produk ekspor lainnya yang datang dari Cina yang seharusnya dapat diekspor ke AS. Hal ini dapat mengakibatkan penurunan harga komoditas dan merugikan produsen lokal.

Presiden Trump berkeinginan kuat untuk mengurangi defisit perdagangan bilateral dengan negara-negara yang ia sebut sebagai strategic competitor. Kepemerintahan Trump juga khawatir terhadap program Made in China 2025, sebuah rencana ambisius Cina untuk menjadi negara yang terbaik dalam bidang industri manufaktur melalui peningkatan teknologi dan mendorong industri-industri baru seperti mengembangkan artificial intelligence (AI), robotika, bioteknologi, serta kendaraan listrik dan otomatis.

Advertisement

AS seolah-olah merasa keberatan dengan program Made in China 2025 karena dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat. Pasalnya, program tersebut sangat memprioritaskan konten lokal dimana pemerintah Cina akan memberikan subsidi dan insentif dalam jumlah besar kepada para perusahaan lokal. Namun, AS sebenarnya sangat khawatir akan kehilangan daya saingnya sebab program Made in China 2025 merupakan sebuah ancaman jangka panjang yang terhadap perekonomian AS.

Dengan jumlah penduduk mencapai 1,4 milyar, Cina memiliki akses pada sampel data yang sangat besar yang menempatkannya di posisi terdepan untuk mengkomersilkan dan meningkatkan inovasi di industri mana pun dimana data besar dapat memajukan proses otomatisasi dan penyediaan layanan dan solusi yang berdasarkan artficial intelligence (AI).

BACA JUGA  ETOS KERJA CHINA

Lupakan perang perdagangan. Apabila program Made in China 2025 berhasil memajukan Cina dan mengalahkan kompetitornya dalam bidang industri generasi baru, AS akan kalah dalam persaingan dagang ini sebab seluruh dunia akan semakin dependen terhadap produk-produk inovasi yang diciptakan Cina yang akan mengubah gaya hidup dan cara menjalankan bisnis.

Advertisement

Negara-negara ASEAN juga perlu memperhatikan pergerakan industri dan keunggulan teknologi Cina bukan hanya karena negara-negara ASEAN merupakan target ekspor utama produk-produk inovasi dari Cina (produk seperti rel kereta api dan ponsel pintar), tetapi karena program Made in China 2025 sangat menekankan persyaratan konten lokal yang nantinya dapat menghambat produsen ASEAN lainnya dalam melakukan bisnis yang menguntungkan secara jangka panjang di dalam rantai nilai Cina. Agar tetap memiliki daya saing di era teknologi seperti saat ini, pemerintah negara-negara ASEAN sudah memulai mencanangkan sejumlah strategi untuk kemajuan industri.

Thailand 4.0

Dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, Thailand merupakan salah satu negara yang berhasil menciptakan rencana perkembangan industri baru berdasarkan prinsip-prinsip Fourth Industrial Revolution.

Advertisement

Sudah dua tahun pemerintah Thailand mencanangkan strategi “Thailand 4.0”, sebuah visi dalam rangka menempatkan negara menjadi yang terdepan dalam bidang industri dan layanan manufaktur. Visi tersebut didukung oleh rencana Eastern Economic Corridor yang juga bertujuan untuk mengembangkan negara-negara timur sebagai pusat industri bernilai tinggi dan mengkatalisasi investasi dengan jumlah $45 milyar

Thailand telah membuat strategi nasional yang jelas dan berhasil mendahului negara-negara berkembang lainnya di ASEAN. Namun, Thailand masih membutuhkan banyak perbaikan, terutama di level pemerintahan, agar para pelaku bisnis benar-benar memahami kesempatan bisnis dari program Thailand 4.0. Saat ini, Thailand masih sangat bergantung pada investasi asing dalam hal kendaraan elektronik, robotika, dan industri penerbangan. Thailand masih memiliki tantangan yang perlu dihadapi yaitu menciptakan wirausahawan yang mampu mempelopori perkembangan industri dalam negeri dan menciptakan teknologi generasi baru yang inovatif.

BACA JUGA  BTN JADI BANK BUKU 3 PALING MENGUNTUNGKAN

Making Indonesia 4.0

Advertisement

Indonesia baru saja mencanangkan strategi nasional pada bulan April 2018 bernama “Making Indonesia 4.0” dengan tujuan untuk memajukan industri manufaktur dalam negeri. Strategi tersebut memprioritaskan perkembangan lima sektor utama: makanan & minuman, otomotif, tekstil, elektronik, dan bahan kimia. Strategi ini merupakan salah satu upaya pemerintah menjadikan Indonesia sebagai pemimpin global.

Indonesia merupakan negara dengan GDP terbesar ke-16 di dunia dan sektor industri yang memilki pasar internal yang besar dan dinamis, serta populasi kelas menengah yang semakin meningkat dengan jumlah populasi lebih dari 260 juta jiwa. Dalam strategi tersebut, Indonesia berupaya untuk memanfaatkan teknologi muktahir seperti artificial intelligence, mengimplementasikan the internet of things, dan juga robotika untuk mendorong produktifitas industri. Banyak hal yang semakin bergantung pada kesuksesan pembangunan infrastruktur nasional dalam rangka mengurangi bottleneck di Indonesia, sebuah negara kepulauan dengan luas 5,000 km dari Samudera Hindia ke Pasifik Selatan.

Inclusive Innovation Industrial Strategy (i3S) Filipina

Advertisement

Meskipun perindustrian Filipina masih jauh dibawah value chain dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, pemerintah Filipina terus gencar mencanangkan Inclusive Innovation Industrial Strategy (i3S) dalam upaya mengembangkan perindustrian dalam negeri agar mampu menghadapi tantangan bisnis dan beroperasi dalam integrasi regional serta memanfaatkan teknologi maju.

Strategi i3S memprioritaskan pembangunan 12 industri utama yaitu otomotif, elektronik, suku cadang pesawat, bahan kimia, peralatan dan mesin pemotong, besi & baja, garmen, tekstil & furnitur, pembangunan kapal, pariwisata, bisnis berbasis IT, agrobisnis, konstruksi, serta infrastruktur & logistik.

Strategi i3S menekankan bahwa sektor swasta dan perusahaan pasar bebas merupakan penggerak perkembangan industri dalam negeri. Dalam i3S, Filipina juga berupaya menciptakan lingkungan dan ekosistem inovatif melalui pembangunan klaster industri, berinvestasi dan mengembangkan bidang sumber daya manusia, serta meningkatkan usaha kecil dan menengah.

Advertisement

Seperti Indonesia, Filipina harus mampu mengatasi bottleneck yang terjadi akibat kesenjangan infrastruktur di berbagai wilayahnya. Program Build, Build, Build yang dicanangkan oleh President Duterte diprediksi akan sukses dalam meningkatkan produktifitas secara jangka menengah dan jangka panjang. Namun, biaya listrik yang mahal akan terus memberatkan perusahaan lokal dan mengurangi daya saing apabila tidak diatasi.

BACA JUGA  Garda Satwa Minta Dukungan Moeldoko Tegakkan Hukuman Berat untuk Penyiksa Hewan dan Satwa

Tenaga kerja manusia dan kemunculan robot

Tak hanya menghadapi tantangan yang besar akibat rencana ambisius Cina dalam merealisasikan supremasi teknologi dan industri, negara-negara berkembang di ASEAN masih perlu mengembangkan sumber daya manusia dan menyempurnakan strategi perkembangan industri di masing-masing negara.

Advertisement

Berdasarkan sebuah laporan yang dirilis oleh McKinsey pada bulan Desember 2017, setidaknya satu dari tiga tenaga kerja manusia di dunia dapat dan akan digantikan oleh mesin dan robot pada tahun 2030. Bahkan, pekerja yang masih melakukan pekerjaan di bidang yang sama diprediksi harus bisa mempelajari skill set baru agar mampu bekerja secara efektif.

Dalam Survey tebaru berjudul Business Barometer: OBG in ASEAN CEO, tim OBG memberikan sejumlah pertanyaan kepada para eksekutif dari enam negara ASEAN (yaitu Filipina, Indonesia, Thailand, Vietnam, Myanmar, dan Malaysia) untuk mencari tahu keterampilan apa yang sangat diperlukan untuk menghadapi pasar yang berkembang sangat pesat saat ini. Secara umum, 31% responden menyatakan bahwa leadership skill (kepemimpinan) merupakan yang paling penting saat ini, diikuti dengan jawaban responden lain yang menyatakan bahwa keterampilan engineering (28%), research & development (15%), dan business administration & computer technology merupakan yang paling penting.

Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa para pelaku bisnis di ASEAN menganggap leadership skill lebih penting dibandingkan dengan keterampilan teknis, baik di negara berkembang maupun negara maju, dalam rangka mempersiapkan diri menuju dunia yang penuh dengan artificial intelligence, robotika, mesin otomatis, dan teknologi yang terus bertransformasi. (Robertus Berot)

Advertisement

Trending