(Oleh Don Bosco Doho, Dosen LSPR London School Jakarta/ CEO STIDEF)-Kon Fu Tze, Lao Tze, Meng Tze dan Chuang Tze dianggap sebagai peletak dasar dan pengasas falsafah China. Pemikiran mereka sangat berpengaruh dalam membentuk ciri-ciri khusus bangsa China khususnya dalam bekerja. Pada pemerintahan Dinasti Chou, China mengalami perpecahan dan perang berkecamuk di antara raja-raja kecil yang menguasai wilayah yang berbeda-beda. Sebagai akibatnya rakyat sengsara, dihantui kelaparan dan ratusan ribu meninggal dunia disebabkan peperangan dan pemberontakan yang bertubi-tubi melanda kawasan China.
Dilatarbelakangi keadaan seperti itu falsafah China lebih banyak memusatkan perhatian pada persoalan politik, kenegaraan dan etika. Falsafah China lalu menitikberatkan pada pemikiran praktis berkenaan masalah dan kehidupan sehari-hari. Artinya mereka cenderung mengarahkan dirinya pada persoalan-persoalan dunia bukannya persoalan-persoalan neraka dan sorga, bersangkutan dengan peri kehidupan manusia masa kini, bukannya dengan peri kehidupannya dalam suatu dunia yang akan datang.
Pengalaman pahit yang sempat mewarnai kehidupan masa lalu mendorong restorasi kehidupan ekonomi masyarakat China yang persisnya dimulai di tepi Sungai Kuning. Peradaban China modern pun menghasilkan Etos kerja masyarakat China dan mendorong tingkat produktivitas yang tinggi.
Etos kerja yang tinggi itu dilandasi dengan sikap dasar dan kedisiplinan masyarakat yang terbangun melalui pendidikan sejak usia dini. China lalu berubah menjadi Negara modern meskipun mereka masih tetap dengan rendah hati mengatakan bahwa mereka juga masih merupakan Negara berkembang.
Hal yang sulit dipercaya bahwa Negara dengan penduduk 1,3 miliar jiwa tersebut begitu tertib diatur. Ternyata adanya kekuatan ‘mesin’ pemerintahan yang bekerja secara menyeluruh dari atas hingga ke tingkat paling bawah di birokrasi merupakan buah dari pola pemerintahan dinasti dan rekruitmen kader aparatur Negara yang hingga kini tetap dipertahankan.
Di bawah kepemimpinan Den Xiaping dengan mesin penggerak Partai Komunis China (CPC), RRC bermetamorfosis menjadi Negara dengan kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia, sekalipun ada laporan lain mengatakan bahwa China telah menjadi kekuatan ekonomi nomor satu di dunia.
Jika ditelusuri, maka ditemukan jawaban bahwa kebijakan yang ditetapkan dapat dijalankan sampai ke bawah dengan satu komando dan tidak belok ke kanan atau belok ke kiri, karena ketaatan kepada pemimpin merupakan salah satu kearifan bangsa China.
Etos Kerja Orang China
Orang China memiliki sebanyak 41 etos kerja. Ke-41 etos kerja tersebut tidak terlepas dari filosofi hidup dan kearifn sebagai buah dari ajaran Taoisme dan Confusianisme yang dipegang teguh hingga kini. Falsafah hidup orang China justru lahir karena adanya berbagai persoalan yang muncul dari kehidupan yang aktual. Falsafah China bertolak dari semacam ‘humanisme’ yang tidak dapat dipisahkan dari persoalan kemanusiaan, tumbuh dalam spiritualitas yang menyatu secara padu sebab dianggap sebagai intipati kehidupan manusia dan sekaligus tujuan hidupnya.
Artinya spiritualitas seseorang dinilai melalui moral dan etikanya dalam kehidupan sosial, kenegaraan dan politik. Di sisi lain, meskipun menekankan pada persoalan manusia sebagai makhluk sosial, persoalan yang bersangkut-paut dengan pribadi atau individualitas tidak dikesampingkan.
Kesetaraan, persamaan dan kesederajatan manusia mendapat perhatian yang sangat besar. Inilah yang dikembangkan oleh para filsuf China bahwa keselarasan dalam kehidupan sosial hanya bisa dicapai dengan menjunjung tinggi persamaan, kesetaraan dan kesederajatan itu.
Selaras dengan pemahaman mengenai kesetaran, falsafah China secara umum turut mengajarkan sikap optimistis dan demokratis. Filosof Cina pada umumnya yakin bahwa manusia dapat mengatasi persoalan-persoalan hidupnya dengan menata dirinya melalui berbagai kebijakan praktis serta menghargai kemanusiaan.
Akan tetapi di sisi lain, agama dipandang tidak terlalu penting dibanding kebijakan berfalsafah. Mereka menganjurkan masyarakat mengurangi pemborosan dalam penyelenggaraan upacara keagamaan atau penghormatan pada leluhur. Penghormatan terhadap kemanusiaan dan individu menjadi dominan.
Pribadi dianggap lebih tinggi nilainya dibanding aturan-aturan formal dan abstrak dari hukum, undang-undang dan etika. Dalam memandang sesuatu tidak berdasarkan mutlak benar dan mutlak salah. Seluruh teori yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan mengkristal menjadi etos kerja orang China.
Betapa tidak, bangsa China dikenal sebagai bangsa pekerja keras, pekerja cerdas dan pekerja yang berkarakter. Oleh karena itu, sangat beralasan jika kita melihat orang China jarang bicara ketika bekerja apalagi ketika belajar. Mereka bicara seperlunya, karena pekerjaan lebih mereka dahulukan.
China telah dikenal luas sebagai negara super power masa depan dalam perekonomian dunia. Perekonomian China menempati posisi kedua dilihat dari nilai gross domestic product setelah Amerika Serikat. China juga merupakan negara dengan jumlah ekspor terbesar di dunia apalagi setelah kebijakan One Belt One Road (Satu sabuk, Satu Jalan).
Kita lihat sendiri di negeri kita, orang China dikenal sebagai orang yang pandai berbisnis dan berdagang. Hampir semua lini industri mereka masuki dan banyak yang memegang peran-peran penting di sana. Jarang sekali kita temukan orang China di negeri kita menjadi ‘orang upahan’, kebanyakan mereka menjadi bos meskipun pada skala kecil-kecilan. Kira-kira apa rahasia mereka?
Ternyata rahasianya adalah pada kristalisasi dari 41 etos kerja yang diperas menjadi tujuh etos. Ketujuh etos kerja Tioghoa tersebut adalah sebagai berikut; tak takut bermimpi, bekerja dan bekerja, berpikir untuk tiga keturunan, tak pernah menyerah, menguasai bisnis dari hulu ke hili, memberi pelayanan terbaik, dan memelihara relasi.
Semangat untuk meningkatkan taraf hidup dan keyakinan pada perdagangan sebagai mekanisme untuk mengukuhkan kedudukan ekonomi pribadi, keluarga, komunitas dan bangsanya. Di sinilah sisi pentingnya mereka tidak takut bermimpi.
Bahwa kesuksesan hanya dicapai dengan kerja keras dan berani membuka peluang yang disertai sikap serius dan mempunyai komitmen untuk menyukseskan perdagangannya.
Selanjutnya, jika kerja keras dan kerja cerdas membuahkan keuntungan, maka keuntungan yang diperoleh tidak dibelanjakan, tetapi digunakan untuk menambah modal kerja dan investasi. Mereka lebih mendulukan bekerja dari pada makan. Jumlah yang dimakan harus di bawah hasil kerja. Mereka jeli bagaimana membedakan antara urusan pribadi dan kegiatan perdagangan, keduanya tidak pernah dicampuradukkan.
Sebagian dari keuntungan disimpan untuk mengmbangkan kegiatan perdagangan dan menghadapi kemungkinan apapun di luar dugaan. Sebagian lagi untuk modal kerja. Itulah sebabnya mereka dapat menguasai jalur bisnis dari hulu hingga ke hilir.
Bagi orang China, bisnis harus dijalankan dengan memberikan pelayanan yang terbaik kepada pelanggan. Harga tidak harus tinggi yang penting usaha tetap jalan. Untung sedikit yang penting rutin dan bertahan. Dalam hal tawar menawar mereka tidak pernah menyakiti hati konsumen. Mereka sangat fair dalam menjelaskan nilai produk dan jasa yang diberikan.
Itulah sebabnya, kita sering mendengar istilah “coba check toko sebelah” kalau memang konsumen ingin mengetahui apakah harga yang diberikan sudah fair dan bersaing atau boleh ditawar lagi. Lalu, uniknya orang China selalu terbuka jika tidak cocok boleh ditukar atau dikembalikan. Ini merupakan prinsip customer service dengan tujuan untuk menjaga relasi yang baik dengan konsumen atau partner.
Tulisan ini merupakan hasil refleksi atas pengalaman setelah sebulan berada di kota Beijing, Nanjing dan Yangzou China untuk sebuah international conference yang diprakarsai oleh China Ministry of Commerce (MOFCOMM).