Dari Hati ke Hati: Pendekatan Baru yang Buat Generasi Alpha Anti Narkoba

Dari Hati ke Hati: Pendekatan Baru yang Buat Generasi Alpha Anti Narkoba

Oleh
Kombes Pol. Dr.Vivick Tjangkung

Jakarta, INFOMONETER.CO – Bila kamu sedang membaca tulisan ini, besar kemungkinan kamu adalah bagian dari generasi yang tumbuh di tengah arus digital yang deras, punya akses informasi tak terbatas, dan hidup di dunia yang serba cepat. Kamu bisa mengakses lagu, video, bahkan komunitas dari seluruh dunia hanya dalam satu ketukan jari. Tapi di balik keren-nya dunia maya, ada ancaman yang tak kalah cepat menyebar: narkoba.

Ya, narkoba bukan lagi sekadar isu yang dibicarakan di rapat pemerintah atau ditayangkan di berita. Ia sudah menyusup ke dunia chat, story, dan direct message. Bahkan, data Badan Narkotika Nasional (BNN) menunjukkan bahwa pengguna narkoba usia muda terus meningkat, dengan rentang usia 10–19 tahun menjadi salah satu kelompok yang paling rentan. Ironisnya, selama ini pencegahan narkoba masih sering dilakukan dengan cara kuno: top-down, menakut-nakuti, dan terlalu formal. “Kalau pakai narkoba, kamu akan dihukum mati!” — seperti itulah narasi yang sering terdengar.

Tapi, apakah itu cukup? Apakah ancaman dan ceramah singkat di sekolah mampu membentengi hati dan pikiran seorang anak zaman now dari godaan yang datang lewat obrolan private, tawaran “coba-coba” dari teman, atau bahkan konten influencer yang menyamar sebagai gaya hidup keren? Kini saatnya kita ganti pendekatannya. Dari ancaman, menjadi pemahaman. Dari luar, menjadi dari dalam. Dari formal, menjadi personal.

Pendekatan Lama: Top-Down yang Tak Lagi Efektif

Pendekatan pencegahan narkoba selama ini sering kali bersifat top-down — datang dari atas, lalu diturunkan ke bawah. Polisi, guru, atau pejabat datang ke sekolah, memberi ceramah, memperlihatkan foto-foto korban narkoba, dan berakhir dengan janji: “Jangan pakai narkoba, ya!”

Tapi, bagi Generasi Alpha (mereka yang lahir sejak 2010 ke atas), cara seperti ini terasa kaku, jauh, dan bahkan tidak relevan. Mereka tumbuh dengan budaya peer-to-peer, user-generated content, dan kebebasan berekspresi. Mereka lebih percaya pada teman sebaya, influencer, atau komunitas daring daripada otoritas yang datang dengan seragam dan pidato.

Ketika pencegahan narkoba hanya berbasis fear-based messaging (pesan berbasis rasa takut), maka yang terjadi adalah resistensi. Mereka malah penasaran: “Kenapa semua orang takut? Apa yang sebenarnya terjadi kalau coba?” Belum lagi, banyak dari mereka yang merasa, “Itu nggak akan terjadi sama aku.” Mentalitas “It’s not me, it’s them” membuat pesan pencegahan justru terasa seperti omong kosong.

Pendekatan Baru: Soft Approach dari Dalam, Bukan dari Luar

Generasi Alpha butuh pendekatan yang lebih manusiawi. Butuh soft approach — pencegahan yang dimulai dari hati, bukan dari ancaman. Pendekatan ini tidak menggurui, tapi mengajak. Tidak menakutkan, tapi membuka wawasan. Dan yang paling penting: datang dari orang-orang terdekat.

Keluarga, sekolah, dan teman sebaya (termasuk sahabat maya) bukan sekadar lingkaran sosial — mereka adalah arsitek utama dalam membentuk mindset seorang anak terhadap narkoba. Mereka yang paling dekat, justru punya pengaruh paling besar.

Keluarga: Benteng Pertama yang Harus Kokoh

Semua kita terima tesis ini: “Keluarga adalah tempat pertama kita belajar tentang nilai, norma, dan emosi”. Namun sayang beribu sayang, banyak keluarga modern yang sibuk, kurang komunikasi, atau bahkan menghindari topik sensitif seperti narkoba. “Nanti kalau dia besar, dia akan tahu sendiri,” begitu kata sebagian orang tua.

Padahal, Generasi Alpha butuh lebih dari sekadar tahu. Mereka butuh safe space untuk bertanya, curhat, dan bahkan mengakui rasa penasaran. Jika orang tua hanya diam atau langsung marah saat anak bertanya, “Apa sih efek sabu?”, maka anak akan mencari jawaban di tempat lain — bisa jadi di forum gelap, di DM, atau dari teman yang juga belum paham.

Pendekatan baru menekankan komunikasi dua arah. Orang tua tidak perlu jadi ahli narkoba, tapi harus jadi pendengar yang baik. Bicara dengan tenang, tanpa menghakimi. Tanyakan, “Kamu pernah dengar soal ini dari mana?” atau “Kalau teman kamu nawarin, kamu bakal bilang apa?” Dengan begini, anak merasa dihargai, bukan dihakimi.

Dan yang tak kalah penting: keteladanan. Jika orang tua sendiri sering mengonsumsi obat tanpa resep, minum alkohol berlebihan, atau bahkan merokok di depan anak, maka pesan anti-narkoba jadi tidak kredibel. Anak melihat, bukan mendengar.

Sekolah: Bukan Cuma Tempat Belajar, Tapi Juga Tempat Tumbuh

Sekolah sering dianggap sebagai agen sosialisasi kedua setelah keluarga. Tapi selama ini, peran sekolah dalam pencegahan narkoba masih terbatas pada talkshow singkat, poster “Bersih Narkoba”, atau pelatihan satu hari yang cepat dilupakan.

Sekolah perlu berubah. Bukan hanya menjadi tempat menyampaikan fakta, tapi menjadi ruang aman untuk berdiskusi. Bayangkan jika pelajaran anti-narkoba tidak lagi berupa ceramah, tapi jadi proyek kreatif: murid diminta bikin podcast, video pendek, atau kampanye media sosial tentang “Kenapa aku memilih bebas narkoba”.

Dengan begitu, mereka tidak hanya menerima pesan, tapi menginternalisasikannya. Mereka menjadi agen perubahan, bukan korban pasif.

Guru juga harus dilatih untuk menjadi first responder — bukan hanya mengajar, tapi juga peka terhadap perubahan perilaku siswa. Murung, menarik diri, atau perubahan drastis dalam gaya hidup bisa jadi tanda awal masalah. Dengan pendekatan soft, guru bisa menawarkan bantuan, bukan hukuman.

Dan jangan lupa: pendidikan karakter dan kesehatan mental harus jadi bagian integral dari kurikulum. Anak yang merasa tidak dicintai, kesepian, atau tertekan lebih rentan terjerumus ke narkoba. Maka sekolah harus menjadi tempat di mana mereka merasa diterima, bukan hanya dinilai.

Teman Sebaya & Sahabat Maya: Pengaruh yang Tak Bisa Diabaikan

Di era digital, “teman” bukan lagi hanya teman sekelas. Bisa jadi influencer di TikTok, streamer di YouTube, atau teman online yang baru dikenal lewat game. Mereka adalah bagian dari peer group yang sangat kuat pengaruhnya.

Generasi Alpha sering kali lebih percaya pada apa yang dikatakan oleh content creator kesayangannya daripada guru atau orang tua. Maka, penting untuk melibatkan influencer positif dalam kampanye anti-narkoba. Bayangkan jika YouTuber atau TikToker populer membuat konten: “Aku pernah ditawari narkoba, ini yang aku lakukan.” Atau “Kenapa aku memilih fokus pada mimpi, bukan pelarian.”

Konten seperti ini jauh lebih menarik, relatable, dan viral dibanding poster “Narkoba = Kematian”.

Teman sebaya juga bisa menjadi guardian, bukan hanya peer pressure. Program seperti Peer Educator — siswa yang dilatih untuk menjadi agen pencegahan di kalangan temannya — terbukti efektif. Mereka bisa membuka obrolan santai: “Eh, tadi kamu ngomongin pil itu? Aku pernah baca, itu bahaya banget, loh.” Tanpa terasa, mereka jadi benteng pertahanan.

Pendekatan Budaya dan Agama: Menyentuh Jiwa, Bukan Hanya Akal

Tak bisa dipungkiri, Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya dan nilai keagamaan. Namun, selama ini pendekatan agama dalam pencegahan narkoba sering kali terlalu kaku: “Haram, dosa besar, neraka.” Padahal, untuk Generasi Alpha, pesan agama harus dikemas dengan cara yang hangat, inklusif, dan relevan.

Bayangkan jika pendekatan agama bukan hanya soal larangan, tapi juga soal penghargaan terhadap tubuh dan hidup. “Tubuhmu adalah Kenisah Allah, jaga dengan baik.” “Kamu punya potensi besar, jangan biarkan zat asing merusaknya.” Pesan seperti ini menyentuh sisi spiritual dan emosional, bukan hanya kognitif.

Demikian pula dengan budaya lokal. Di banyak daerah, ada nilai-nilai luhur seperti gotong royong, hormat pada sesama, dan tanggung jawab sosial. Nilai-nilai ini bisa menjadi fondasi kuat untuk menanamkan rasa memiliki dan rasa malu terhadap perilaku merusak diri.

Dari Hati ke Hati: Membangun Komunitas Anti-Narkoba

Pendekatan baru ini bukan tentang siapa yang paling berkuasa, tapi siapa yang paling dekat. Karena pencegahan narkoba bukan tugas satu instansi, tapi tanggung jawab bersama. Mari kita ubah narasi:

Pertama, dari “Jangan pakai narkoba karena kamu akan ditangkapmenjadi “Jangan pakai narkoba karena kamu berharga, dan dunia butuh kamu.”

Kedua, dari “Narkoba itu haram menjadi Hidupmu adalah ibadah, jangan rusak dengan pelarian.”

Ketiga, dari “Kamu harus nurutmenjadi “Kita bisa ngobrol, kamu tidak sendirian.”

Generasi Alpha butuh rasa aman, rasa dicintai, dan rasa punya tujuan. Ketika ketiga hal ini terpenuhi, maka godaan narkoba akan kehilangan daya tariknya.

Aksi Nyata yang Bisa Kita Mulai Hari Ini

Pertama, orang tua dapat meluangkan waktu 15 menit sehari untuk ngobrol santai dengan anak. Tanya kabar, tanya teman-temannya, tanya apa yang dia tonton. Jadilah teman, bukan polisi.

Kedua, sekolah dijadikan tempat pencegahan narkoba sebagai proyek kreatif, bukan hafalan. Libatkan siswa sebagai pelaku, bukan penonton.

Ketiga, sahabat maya dan influencer boleh menggunakan platformmu untuk menyebarkan pesan positif. Satu konten bisa menyelamatkan satu nyawa.

Keempat, kamu, Generasi Z dan Alpha dapat menjadi agen perubahan. Tegur teman dengan baik jika dia terlibat narkoba. Bantu temanmu, jangan hujat. Karena setiap orang berhak dapat kesempatan.

Akhir kata, pencegahan narkoba bukan soal siapa yang paling keras berteriak, tapi siapa yang paling tulus merangkul. Kita butuh pendekatan yang lembut, tapi kuat. Yang dekat, tapi mendalam. Yang dari hati, untuk hati.

Karena Generasi Alpha bukan generasi yang harus ditakuti, tapi generasi yang harus dipahami. Dan dengan pendekatan yang tepat, mereka bisa menjadi generasi pertama yang benar-benar bebas narkoba — bukan karena takut, tapi karena mereka tahu betapa berharganya hidup ini.

Dari hati ke hati, mari kita wujudkan.

*) Penulis adalah Kepala BNN Kota Tangerang, Alumni Program Doktor Ilmu Komunikasi Universitas Sahid Jakarta dengan Disertasi mengenai Pola Komunikasi Persuasi Polri dalam Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba